Rihlah Ilmiah Imam Syafi'i
Pertumbuhannya
dan Pengembaraan Imam Syafi’i Mencari Ilmu
Berbicara masalah tholabul ‘ilmi
tentu banyak sekali kisah yang pernah kita dengar. Kisah heroik mereka dalam
mencari ilmu memberikan suntikan semangat bagi kita yang sedang menjadi
thullabul ‘ilmi juga. Pada tulisan ini kami mencoba untuk memberikan kisah
pencarian ilmu dari salah satu imam besar islam, pendiri sebuah mazhab,
penolong sunnah yaitu Imamuna as-Syafi’i . Berawal dari Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di
dekat Syi‘bu al-Khaif. Dengan kegigihan seorang ibu kepada kesuksesan anaknya,
maka dikirimlah Imam Syafi’i untuk belajar di suatu majlis. Namun yang menjadi
masalah adalah sang imam tidak memiliki harta dan kekayaan yang cukup untuk
bisa ikut dalam halaqoh keilmuannya besrsama gurunya, tetapi melihat dari
kemampuan menghafal dan pemahaman yang cepat maka sang Syekh rela untuk tidak
dibayar dan mengajarkan ilmunya secara gratis kepada Imam Syafi’i. Suatu hari Imam Syafi’i pernah bercerita, “Di
al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar
di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya.
Sampai ketika saya menghafal semua yang dia katakan, dia berkata kepadaku, “Tidak
halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” . Sejak saat itu sang guru
menunjuk Imam Syafi’i sebagai penggantinya untuk mengawasi murid-murid yang
lain ketika sang guru tidak ada dalam majelis.
Setelah selesai menghafal Alquran di
al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri
majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak
berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan potongan kulit, pelepah
kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai guci tanah liat milik
ibunya yang digunakan untuk menyimpan air dan beras penuh dengan tulang-tulang,
pecahan, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu
terjadi pada saat beliau masih belum berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa
beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan
menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun
sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Ketertarikan beliau terhadap ilmu
pun bertambah, oleh karenanya beliau memutuskan untuk mempelajari ilmu bahasa
Arab dan syair-syairnya. Beliau memilih untuk tinggal di daerah pedalaman
bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya,
serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah
berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui
nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli
bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun,
takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat
dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan
al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun
tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya
mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dari ulama-ulama
kotanya di Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar,
Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin
‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari
ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau
juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir
sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan
dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena
sasaran.
Setelah mendapat izin dari para
syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar
as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada
Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana
menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang
telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum
kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu
darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau
juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul
‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan
masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau
kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari
Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun,
berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi
oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi
tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan
ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang
tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah
Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama
orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam
Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil
merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani
‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan
‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan
pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka
sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam
pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia
melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan
dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun
menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut
sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh
sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda
dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras
sikap tasysyu’ model mereka itu yang tidak meyakini keimaman Abu Bakar, Umar,
serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para
imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang
didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun
hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas
membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan
kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap,
lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama
sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu
dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya
menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi
seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya,
Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan
dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-,
beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan
kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan
bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan
untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada
kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu
Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan.
Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan
lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah
pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia
belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah.
Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota
Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i
memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain.
Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar
di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya
dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat
sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut
namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin
segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai
dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi
terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang
tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua
tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai
menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya
meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke
Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi
perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli
kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara
Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu
bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama
ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena
orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi
setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka
tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab
mereka.
Dan begitulah kenyataannya.
Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama
ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika
dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham
Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak
dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan
itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati
kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada
kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana
beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk
merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya
di sana.
Diambil dari
berbagai sumber.
@ulhakook
Komentar
Posting Komentar